DIBALIK PERTANYAAN 'NIKMAT TUHAN MANAKAH YANG KAMU DUSTAKAN?'
Malam itu saya menemani ibu menjaga nenek yang kondisinya sudah repot di rumah sakit. Sambil mendengarkan lantunan surat arRahman, ayat demi ayat mewakili setiap fase kehidupan. Ah, padahal dulu nenekku ini gagahnya luar biasa, raga yang dulu dibanggakan ini mulai kehilangan kekuatannya, tak berdaya habis dimakan usia. Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?
Saya suka surat
ini, bahkan ketika masih sangat awam soal agama, surat ini mampu membuat
termenung. ‘Maka nikmat Tuhan mana yang kau dustakan?’ ini begitu mengena.
Secara linguistik, pertanyaan ini disebut dengan retoris.
Kalimat - kalimat retoris sama
sekali tidak menghendaki adanya jawaban. Menurut Keraf (1985) pertanyaan –
pertanyaan retoris digunakan untuk mencapai efek yang mendalam dan menciptakan
sebuah penekanan dalam sebuah tuturan. Pernyataan
retoris biasanya bersifat afirmatif (menguatkan atau mengesahkan). Positif
adalah negatif dan negatif adalah positif. Tuturan berbanding terbalik dengan
yang dimaksudkan, dan secara umum mengandung kesimpulan yang kuat.
Contoh:
1. Siapa yang bicara? -> tidak
ada yang bicara
2. Mengapa aku harus peduli? ->
Sama sekali tidak
3. Apa yang akan terjadi? ->
Lalu tidak ada pengecualian
4. Kenapa aku harus marah? ->
Menjadi sempurna
Pertanyaan retoris ini tidak
mempunyai daya tanya, tidak membutuhkan jawaban, dan bertujuan untuk
menyudutkan lawan bicaran. Pertanyaan ‘Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu
dustakan?’ ini, bukan bermaksud agar kita menyebutkan nikmat – nikmat Tuhan
yang sudah kita dustakan, tetapi memiliki kesimpulan yang kuat bahwa tidak ada satupun dari nikmatNya yang bisa kita dustakan.
Suara mesin – mesin di ruang MIC
RSHS menemani malam kami. Lantunan surat arRahman memecah keheningan. Mata
nenekku berkaca – kaca, entah karena menahan sakit atau memang terharu
mendengar suara qari' yang didengarkan melalui handphone. Dokter bilang nenekku sudah tidak ada harapan. Beliau divonis menderita infeksi paru - paru. Karena usianya yang sudah menginjak 90 tahun, penyakitnya merembet kemana - mana. Seluruh badannya membengkak. Sesekali ibu mengecek denyut jantungnya di monitor. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain mengoptimalkan perawatan. Kasarnya, beliau hanya menunggu malaikat maut menjemput.
Pikiranku kembali melayang bersama lantunan surat ke 55 ini. Sebanyak 31 kali pertanyaan retoris diulang – ulang. Fabiayyiaalaairabbikumaatukazzibaan… terngiang – ngiang dalam benakku. Hari itu akan tiba. Ya. Entah kapan dan dimana. Saat lidah kelu, jangankan untuk berbicara, bahkan untuk mengaduh kesakitan pun tidak sanggup lagi. Aku mengitari ruangan, ruangan ini penuh dengan pasien yang sedang terbaring tak berbadaya. Tubuh mereka ditempeli sejumlah alat bantu karena organ - organnya sudah tidak lagi bekerja dengan baik. Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan? Tidak perlu menunggu tak berdaya untuk bersyukur bukan?
Pikiranku kembali melayang bersama lantunan surat ke 55 ini. Sebanyak 31 kali pertanyaan retoris diulang – ulang. Fabiayyiaalaairabbikumaatukazzibaan… terngiang – ngiang dalam benakku. Hari itu akan tiba. Ya. Entah kapan dan dimana. Saat lidah kelu, jangankan untuk berbicara, bahkan untuk mengaduh kesakitan pun tidak sanggup lagi. Aku mengitari ruangan, ruangan ini penuh dengan pasien yang sedang terbaring tak berbadaya. Tubuh mereka ditempeli sejumlah alat bantu karena organ - organnya sudah tidak lagi bekerja dengan baik. Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan? Tidak perlu menunggu tak berdaya untuk bersyukur bukan?
Seiringan dengan selesainya surat arRahman, nenekku menutup matanya, mungkin tertidur atau memang kesadarannya yang sudah menurun. Selamat tidur, Mamah Haji :)
‘Bagiku, bahasa bukan sekedar
kosa kata dan gramatika, jauh lebih dalam lagi, tentang rasa dan pola’ -DPA
Bandung, 22 Juni 2015
Amateur Traveler
Dinda Alhumaira
Comments
Post a Comment