PAPANDAYAN



Papandayan, sebuah perjalanan yang terlamun, dari api unggun hingga tegal alun. -DWN





Kali ini akan kutuliskan sebuah perjalanan ke suatu tempat dimana aku melepaskan kepenatan skripsi, revisi dan perintilan lainnya. Rombongan kami berjumlah delapan orang, termasuk aku. Mereka semua merupakan sepupu dan satu orang teman baikku. Gunung Papandayan yang terletak di Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, Jawa Barat memiliki tinggi 2665 meter di atas permukaan laut. Gunung ini merupakan kawasan wisata yang sudah cukup terkenal dan ramai dikunjungi. Kami berangkat dari Bandung menggunakan mobil pribadi menuju Garut. Sebelumnya, aku menipu teman yang ikut bersama rombongan. Beberapa hari yang lalu dia bilang ingin jalan – jalan ke alam terbuka. Kuajak dia bergabung dengan saudara - saudaraku. Dia membenci pendakian dan segala hal yang melelahkan, jadi kubilang saja kami hanya camping cantik. Setibanya di area parkir, air mukanya berubah ketika melihat aku dan saudara – saudaraku membawa carrier. Dia menatapku tajam, seolah – olah bertanya padaku ‘naik gunung?’. Kulihat dia sedikit panik ketika melihat orang – orang berkeliaran dengan perlengkapan hiking. ‘Cuma camping cantik, jalan sebentar doang kok!’ kataku segera menenangkannya. Dia tahu aku bohong, matanya menatapku lagi. Kali ini tatapannya menyiratkan bahwa dia tidak ingin naik gunung. Aku nyengir lebar. Dia melotot, senyumku berubah menjadi tawa. Kudengar dia mengomel dan tawaku semakin menjadi. Tidak ada lagi yang bisa dilakakukan selain berusaha menerima bahwa dirinya sudah tertipu. Lalu kami memulai perjalanan setelah mengabadikan momen – momen sebelum pendakian.
***
Dikarenakan Papandayan ini merupakan kawasan wisata, pengunjung ditarik biaya tiket masuk sebesar 10.000 rupiah, selain itu disediakan pula lahan parkir dengan harga tiket parkir mobil yang sama dengan karcis masuk. Kawah Papandayan, Pondok Saladah, Hutan Mati dan terakhir Tegal Alun. Kami melewati kawah lalu terus berjalan sampai tiba di sebuah warung yang menyediakan pisang goreng rasa mangga. ibu warung bilang ia memberi  ekstrak mangga pada adonan pisang goreng tersebut. Terserah ibulah bagaimana cara membuatnya. Aku tidak peduli karena pisang mangga ini uenak pol. Nutrisar* dingin ditengah terik matahari pukul dua belas siang menjadi pelengkap nikmat yang tidak akan kau temukan ditempat lain.  Setelah cukup beristirahat kami melanjutkan perjalanan. Kami semua tiba di pondok saladah sekitar pukul dua siang. Area camping ini dilengkapi dengan toilet umum dan warung – warung serba ada. Cilok pun ada. Lengkap sudah. Jadi kubilang saja ini camping cantik. Untuk temanku itu, aku tidak bohong kan?
***
Malam pun tiba. Aku dan temanku tersesat. Kami berdua baru saja dari toilet dan melaksanakan solat maghrib. Langit sudah sangat gelap. Aku memang membawa headlamp, tapi masalahnya adalah kami lupa letak tenda berada. Aku sudah berputar – putar di tempat yang sama. Temanku mulai khawatir. Putaran pertama seorang mamang cilok bertanya padaku akan kemana aku dan temanku ini. Aku hanya tersenyum dan menjawab mau ke tenda lalu pergi mencari lagi. Putaran kedua mamang cilok mulai curiga. Dia bertanya lagi. Kali ini aku tidak terseyum karena bingung. Jawabanku masih sama tapi dengan nada berbeda. Aku terus berjalan sambil berusaha mengingat – ingat, tapi  kenyataannya kami malah kembali ke tempat mamang cilok. Sepertinya dia mulai empati. Kali ini kujawab, ‘lupa mang tendanya di mana’. Mamang cilok ini sangat baik. Dia mengambil senternya lalu berjalan mendahului kami dan mengarahkan senternya pada tenda – tenda sekitar.  Kusebutkan nama sepupuku yang usianya paling tua diantara kami lalu kubilang, ‘mang tanya saja ada yang namanya mas xxx’. Mamang cilok menurut. Kemudian kudengar ia mulai bertanya ke setiap tenda ‘ada yang namanya mas xxx?’.
***
Malam semakin larut. Udara pun semakin dingin. Kami meringkuk dibalik sleeping bag. Sepupuku yang sejak siang mengurusi makan kami semua ini sedang nemasak spageti untuk makan malam. Sudah kubilang ini camping cantik kan? Makan malam saja spageti. Luar biasa. Salah satu sepupuku yang lain keluar dari tendanya, kudengar dia sedang krasak krusuk melakukan sesuatu. Ketika ditanya, tidak ada jawaban. Tidak lama kemudian, api menyala. Api unggun. Temanku sudah terlelap, kami bertujuh yang merupakan saudara sepupu ini keluar dari sleeping bag masing – masing. Kami semua mengelilingi api unggun. Malam dan alam. Kedua komponen tersebut membawa pikiran berkelana lebih dalam. Larut dalam kegalauan. Kami semua diam sambil menatap kobaran api yang menyala. Perlahan,  api unggun ini mulai memberikan kehangatan pada badan kami. Aku yakin pikiran mereka mulai berkelana. Entah memikirkan apa, aku tidak tahu. Aku tidak bisa membaca pikiran. Beberapa orang sibuk melahap spageti yang sudah dimasak oleh koki kami. Suasana sudah mendukung untuk mencurahkan isi hati, atau sekedar mengobrol santai menganai apapun. Si penyala api unggun yang sejak tadi diam ini membuka pembicaraan. Tidak ada yang memulai bercerita, mungkin bingung mau cerita apa. Lalu dia, si penyala api unggun, menjadi orang pertama yang  bercerita tentang niatnya pergi ke gunung papandayan. Tidak perlu kuceritakan karena ini menyangkut privasi seseorang. Tapi kisahnya berkaitan dengan kisah kasih anak muda. Cerita tidak hanya berhenti di si penyala api unggun, sepupuku yang lain meneruskan curhat estafet tersebut. Kami mengeluarkan unek – unek yang mengganjal di hati ataupun yang sudah menjadi kenangan. Hampir semua bercerita tentang kisah cinta. Dan kesemua kisah mereka tentang kegagalan. Kegagalan cinta. Ceileh. Meskipun begitu, kami tetap tertawa. Apapun kisahnya, pasti akan dijadikan cerita lucu oleh mereka. Ah, bukankah hidup ini hanya senda gurau?
***
Melihat sunrise hanya wacana. Kami terlelap hingga pagi datang. Tapi biarlah, karena tujuan kami bukan melihat matahari terbit bukan pula puncak, puncak hanya bonus. Tujuan kami bersenang - senang, ciptakan kenangan untuk diceritakan di masa yang akan datang. Kami bersiap untuk mendaki kembali. Hutan mati dan tegal alun. Dua tempat ini diberi label ‘wajib dikunjungi’. Kurang lebih sejam untuk sampai tegal alun, itu sudah termasuk waktu istirahat duduk – duduk sebentar untuk menghilangkan lelah. Aku belum pernah ke baluran ataupun afrika, tapi tegal alun ini membuatku seperti sedang berada di tempat tersebut. Sejauh mata memandang hanya pohon bunga edelweiss yang kulihat. Pepohonan hijau dan langit biru. Sebuah kombinasi yang pas dan sempurna. Setiap kesempurnaan yang kulihat saat itu membuatku lebih bersyukur atas nikmat yang sudah diberikan oleh Sang Pencipta. Matahari terik sekali, saat itu pukul dua belas siang. Angin berhembus sepoi menyapu wajah kami yang terbakar sinar sang surya. Koki kami mengeluarkan perkakasnya. Makan siang sederhana dengan rasa luar biasa. Hanya indomi* tapi rasanya nikmat sekali. Kami bercanda, tertawa dan sibuk foto – foto untuk diunggah di sosial media. Di tempat bunga abadi ini, kubuat lagi satu kenangan yang akan abadi untuk diingat.
***
Pukul empat sore, kami mulai turun. Setiap awal pasti akan bertemu akhir. Perjalanan kami akan berakhir sebentar lagi. Hanya butuh waktu dua jam saja untuk sampai ke tempat di mana kami menaruh mobil. Sesampainya di area parkir, kami sangat kaget melihat kondisi mobil yang mengalami kerusakan. Bamper depan sebelah kanan bagian bawah penyok. Sayang, akhir perjalanan kami harus diwarnai kejadian tidak mengenakkan. Ada yang menabrak mobil kami hingga meninggalkan bekas yang cukup parah. Ini menjadi catatan khusus untuk pengelola parkir. Kami ditarik biaya parkir sebear 10.000 ini fungsinya tidak jelas untuk apa. Tukang parkir saat itu juga tidak ada. Sekitar pukul enam sore, tidak ada yang menjaga area tersebut. Keamanan pun menjadi pertanyaan di benak kami. Ya kami kecewa. Ketiga sepupu laki - lakiku berdiskusi cukup lama dengan pihak pengelola. Tentu saja kami meminta pertanggung jawaban mereka. Diskusi berjalan cukup alot. Bahkan ada seorang dari mereka yang mengatkan bahwa bamper penyok tersebut bisa dibetulkan dengan menyiramkan air panas. Suasana menjadi panas akibat celetukan orang tersebut. Macam mana pula bamper penyok disiram air panas? Ada - ada saja. Ada juga yang menyarankan uang parkir dikembalikan saja. Kami jadi kesal. Cara mereka memberikan solusi seperti ingin lepas dari tanggung jawab. Kami tetap menuntut ganti rugi, atau setidaknya ada kesaksian dari tukang parkir yang bertugas saat itu. Permintaan kami sulit dikabulkan. Hampir dua jam diskusi tidak berujung ini terus berlangsung. Mereka akhirnya mengakui bahwa kejadian ini akan berpengaruh pada kawasan wisata yang dikelolanya. Akhirnya mereka memberikan uang ganti rugi sebesar 250.000. Tapi bukan itu sebenarnya yang menjadi fokus kami. Si pemilik mobil ingin mengetahui mobil mana yang menabrak mobilnya, dan mengapa tukang parkir yang saat itu menjaga tidak bertindak. Jadi kuharap kalian berhati – hati jika ingin datang ke gunung papandayan dengan mobil pribadi. Perjalanan kami tetap menyenangkan dan menjadi kenangan indah untukku. Meskipun ada insiden yang tidak mengenakkan, biarlah hal itu menjadi pelajaran dan bumbu cerita kami. Orang bilang jika ingin tahu sifat asli seseorang ajaklah dia mendaki. Menurutku pendakian akan membuatmu meceritakan hal – hal yang ingin kau sembunyikan. Alam dan malam begitu menggoda untuk membuka sebuah rahasia.

***



Alam dan malam. Kedua komponen tersebut membawa pikiran berkelana lebih dalam.  -DPA





Bandung, 9 Agustus 2015




Amateur Traveler
Dinda Alhumaira


Comments

Popular posts from this blog

DIBALIK PERTANYAAN 'NIKMAT TUHAN MANAKAH YANG KAMU DUSTAKAN?'

Separuh Sempurna

IMPLIKATUR PRINSIP IRONI DALAM 'KAMUS CEWEK'