GELOMBANG KETIGA (Alvin Toffler)
Akhirnya tamat juga baca buku yang diterbitkan tahun 1988 ini. Pernah janji mau
bikin book review nya, meski pun engga ada yang nungguin sih, tapi kalo
udah bikin janji sama diri sendiri ngerasa jadi hutang dan harus dilunasi.
Hehehehe. Jadi inilah dia book review GELOMBANG KETIGA.
Buku ini membahas
tentang perdaban dunia. Toffler menyebutnya dengan gelombang dan membaginya
menjadi tiga, gelombang satu, dua dan tiga. Gelombang satu merupakan revolusi
pertanian. Gelombang kedua disebut kebangkitan peradaban industri dan gelombang
ketiga disebut dengan tekno-sfeer.
Dalam
bukunya, Toffler memaparkan bagaimana efek samping industrialisme yang mulai terjadi pada abad ke-17 ini. Bukunya
mengkritisi peradaban industri yang saat itu sedang berkembang pesat di benua
Amerika dan Eropa. Dalam bukunya, Toffler menyajikan berbagai sudut pandang
berbeda tentang abad industri. Ia membahas bagaimana gelombang kedua atau yang
disebut dengan revolusi industri ini mengubah gaya dan cara hidup jutaan
manusia. Mengubah penduduk ‘primitif’ menjadi ‘beradab’, menciptakan mesin
secara massal dan mengeruk kekayaan alam. Secara tidak langsung revolusi industri
ini memusnahkan mereka, makhluk ‘primitif’, dan memaksa manusia gelombang satu untuk
mengikuti aturan industri.
Beberapa
hal yang membuat saya kagum dengan berbagai opini atau kritik Toffler adalah
bagaimana gelombang kedua ini mengubah banyak hal. Tatanan sosial, kurikulum
pendidikan, budaya, politik, dan menciptakan cara hidup baru untuk bertahan di
gelombang kedua. Sistem pendidikan yang terus berubah mengikuti perkembangan
zaman. Sekolah wajib yang semakin bertambah saja batasannya. Dulu, pemerintah Indonesia
hanya mewajibkan sekolah sembilan tahun sekarang mereka mengubah kembali
standar pendidikan. Mewajibkan masyarakat untuk mengenyam pendidikan sekolah
menengah atas. Atau untuk dapat berkecimpung dan memiliki jabatan di dunia
industri minimal mereka menempuh pendidikan kuliah.
Dalam sudut
pandang Toffler, program wajib sekolah ini semata – mata untuk mempersiapkan
masyarakat agar dapat bekerja di dunia indsutri. Sekolah mengubah kurikulum
menjadi gaya pabrik. Para siswa dicekoki berbagai macam ilmu pengetahuan,
diajarkan kedisiplinan, dan mengerjakan hal yang sama setiap harinya. Bahkan lama
belajar di sekolah sudah sama seperti orang yang bekerja di kantor. Masuk pukul
tujuh pagi dan pulang pukul tiga sore,
belum lagi les ini itu. Semua itu dilakukan untuk apa? Agar mereka terbiasa
hidup di gelombang kedua. Sehingga saat dewasa nanti, mereka siap untuk bekerja
di dunia industri.
Bekerja di
dunia industri adalah tentang ketepatan waktu dan ketahanan diri untuk
melakukan hal yang sama setiap harinya. That
is true. Sampai akhirnya saya menjadi seorang karayawan magang di sebuah
industri manufaktur, dan melihat sendiri kenyataan bahwa mereka bekerja seperti
robot. Mesin yang terus menyala hampir dua puluh empat jam karena mengejar
setoran. Ketepatan waktu yang harus selalu dijaga, semua harus serba cepat
ringkas tapi tetap menjaga kualitas.
Masyarakat
gelombang kedua memerangi alam dengan terus menerus mengeruk sumber daya tanpa
merawat kembali. Mereka pikir alam akan terus menyajikan batu bara, minyak,
emas? Jika masyarakat gelombang satu mencari ikan dengan menggunakan jala, masyarakat
industri menggunakan bom. Lebih cepat dan hasilnya lebih banyak bukan? Memang
begitu yang mereka inginkan. Bukan hanya ikan yang mati, mereka juga turut
menghancurkan ekosistem laut. Jika manusia primitif menebang satu atau dua
pohon untuk dijadikan kayu bakar demi kelangsungan hidupnya, manusia industri
membakar berhektar – hektar hutan untuk kepentingan pabriknya. Untuk mengeruk
keuntungan sebesar – besarnya tanpa peduli dampak kabut asap yang ditimbulkan. Kembali
merusak alam, menindas manusia – manusia non-industri
dan mengedepankan kepentingannya. Itulah gelombang kedua.
Sebuah
definisi manusia industri yang dikemukakan oleh Toffler ini cukup membuat saya
merinding. Ia mendefinisikan manusia industri sebagai sekelompok orang yang menghabiskan
sebagian besar waktu hidupnya dalam lingkungan yang bercorak pabrik, senantiasa
berhubungan dengan mesin dan organisasi, mereka mengerdilkan manusia. Sejak
kecil telah diajarkan bahwa kelangsungan hidup bergantung pada uang. Sejak masa
kanak – kanak sudah dimasukkan ke dalam sekolah bergaya pabrik. Mendapatkan
citra dasar pandangan dunianya dari media massa.
Mereka berjuang
untuk mencari nafkah hidupnya. Belajar melakukan permainan yang dituntut oleh
masyarakat, menyesuaikan diri dengan peran yang ditugaskan padanya, sering
membenci dirinya dan merasa dirinya sebagai korban dari sistem yang justru
telah menaikkan derajat hidupnya. Mereka merasakan waktu yang terus berjalan
itu mengantarkannya dengan pasti menuju masa depan, semakin dekat menuju liang
kubur. Dan bila jam tangannya terus berdetak membawanya ke saat – saat
kematiannya, barulah mereka sadar bahwa bumi dan setiap penghuninya, termasuk
dirinya, tidaklah lain daripada bagian dari mesin kosmos yang lebih besar yang
geraknya serba teratur dan tak berhenti itu. Mereka, manusia – manusia industri
hidup dalam gelimang harta tapi tidak tahu apakah mereka menikmatinya atau
tidak.
Gelombang
kedua mengubah tanda bunyi suara, dari ayam kokok menjadi lonceng, suara
putaran ban menggantikan suara jangkrik. Ia menambah cahaya terang malam,
menambah waktu berjaga. Ia juga menambah daya penglihatan yang sebelumnya tidak
terjangkau oleh mata, bumi dipotret dari angkasa, atau pandangan tiga dimensi
di bioskop (bahkan sekarang sudah empat dimensi) ataupun bentuk – bentuk kuman dan
sel biologi yang sudah dapat dilihat dengan bantuan mikroskop. Aroma malam yang
segar berganti dengan bau bensin dan air limbah.
Tinggal di
sebuah kawasan industri, membuat saya merasakan hal itu. Udara pengap dan bau
yang entah apa disetiap harinya. Meskipun saya masih mendengar ayam berkokok
sih. Hehehehe. Mungkin mereka adalah
sisa – sisa manusia gelombang satu yang masih memelihara ayam di rumahnya.
Kepadatan dijam yang sama dan kejenuhan yang sama pula setiap harinya karena
harus melakukan kegiatan yang terus berulang. Bahkan ketika saya menulis ini
pukul tiga dini hari, jalanan depan kosan tidak sepi seperti seharusnya.
Klakson truk – truk dan kendaraan bermotor lainnya masih terdengar. Mereka
tidak tidur? Tentu, mereka tidur! Dengan jam tidur yang tidak sama seperti
manusia umumnya. Ya, inilah gelombang kedua.
Lalu
gelombang ketiga itu apa?
Toffler
menjelaskan bahwa, gelombang ketiga adalah kombinasi dari konsumen, kaum
pelestarian lingkungan hidup, ilmuwan, dan para pengusaha swasta yang mulai
bergerak ke industri masa depan. Setelah bertahun – tahun manusia industri
mengeruk alam, mereka, orang – orang yang peduli dengan bumi pertiwi ini
bangkit melakukan protes, melakukan pergerakan gelombang ketiga yang disebut
tekno-sfeer. Mereka berusaha menjaga alam dengan menciptakan berbagai macam
teknologi pengganti mesin agar menghemat hasil alam yang sudah mulai habis.
Teknolgi! Kecanggihan teknologi hari ini merupakan dampak yang diberikan oleh mereka,
para ilmuwan, gelombang ketiga demi menjaga bumi. Mereka peduli, mereka
ciptakan berbagai teknologi yang bersahabat. Karena mereka menyadari bahwa pada
dasarnya manusia harus hidup berdampingan dengan alam.
Buku ini
luar biasa kerennya, menurut saya sih.
Toffler mampu membahas berbagai macam perdaban dari beberapa sudut pandang. Memangnya
gelombang ketiga tidak mengerikan? Kecanggihan teknologi yang tidak terkendali
akan membuat hidup ini semakin mengerikan, begitulah akhir penutup buku Gelombang
Ketiga Bagian Satu.
‘Hidup ini
terlalu mengerikan jika tidak kau seimbangkan dengan ajaran Tuhan. Tidak peduli hidup di gelombang satu, dua atau tiga, kalau kau percaya Tuhan bukankah dunia
ini hanya ujian?’ –DPA
Karawang, 16 Oktober 2015
Amateur Traveler
Dinda Alhumaira
Comments
Post a Comment