Nilai dan 'Nilai'
Gambar : https://logistridya.wordpress.com/logistridya/ |
Tuhan
itu sempurna. Menciptakan keseimbangan tanpa cela. Dia ciptakan berbagai macam
pasangan di jagat raya. Pria dan wanita. Langit dan bumi. Matahari dan bulan.
Hitam dan putih. Bahkan ilmu pengetahuan pun berpasangan, alam dan sosial. Keduanya
adalah hal yang bertolak belakang. Pria dan wanita, langit dan bumi, matahari
dan bulan atau alam dan sosial, bukan sesuatu yang bisa dibandingkan, melainkan
disandingkan. Mereka memiliki peran masing – masing yang tidak bisa digantikan
oleh salah satu pihak. Alam dan sosial bukan sesuatu yang harus kau temukan
mana yang lebih hebat, ilmu pengetahuan alam atau sosial. Mereka tidak
semestinya berlomba – lomba menjadi yang lebih hebat. Bukankah seharusnya
mereka berjalan berdampingan, menciptakan sebuah keseimbangan?
Suatu
ketika, seorang dosen bertanya mengenai alasan jurusan kami (bahasa dan budaya)
sering kali dipandang sebelah mata. Kami diam, mungkin karena tidak ada yang
keren dari penelitian bahasa atau budaya. Bahasa begitu – begitu saja, semua
orang bisa berbahasa. Atau mungkin, budaya memiliki kesan ketinggalan zaman. Di
era teknologi ini, budaya hanya bagian dari cerita orang – orang dulu. Menarik
sejarah ke belakang, perdebatan mengenai kedua ilmu pengetahuan ini sudah lama
sekali terjadi. Seperti munculnya aliran positivisme (abad ke-18) yang
menganggap kebenaran ilmu pengetahuan bersifat tunggal dan fenomenalisme yaitu hanya berbicara tentang semesta yang teramati.
Kemudian,
teori – teori tersebut dibantah oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai
aliran antipositivisme. Antipositivisme memandang bahwa kebenaran tunggal itu
tidak ada. Thomas Kuhn, salah satu pencetus antipostivime, mengonsepkan sebuah
paradigma didalam mencari kebenaran. Menurutnya paradigma adalah kerangkan konseptual
untuk mengklasifikasikan dan menerangkan objek – objek fisikal. Paradigma merupakan cara pandang terhadap suatu objek (semesta) yang kemudian
akan berpengaruh dalam pengambilan tindakan selanjutnya. Dengan demikian, kebenaran ilmu tidaklah satu, tetapi bersifat plural.
Selanjutnya,
ilmuwan Pythagoras mengemukakan bahwa segala sesuatu dikembalikan kepada bilangan. Baginya tidak ada satupun
yang ada di alam ini yang terlepas dari bilangan. Semua realitas dapat diukur dengan
bilangan (kuantitas). Karena itu, bilangan adalah unsur
utama dari alam dan sekaligus menjadi ukuran. Kebenaran adalah sesuatu yang
dapat diukur, begitu katanya. Sebaliknya,
Protagoras mengungkapkan bahwa kebenaran itu bersifat subjektif dan relatif. Hal
ini mengakibatkan tidak akan ada ukuran yang absolut dalam etika, metafisika,
maupun agama. Bahkan teori matematika pun dianggap tidak mempunyai kebenaran
yang absolut.
Kemunculan
aliran positivisme tidak dapat dilepaskan dari iklim kultural yang ditimbulkan
oleh revolusi industri di Inggris pada abad ke-18. Revolusi industri ini juga
menimbulkan optimisme, yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi dapat membuat hidup
manusia menjadi lebih sejahtera. Masyarakat begitu terpana dengan kecanggihan
teknologi pada saat itu. Bagi mereka, sepanjang ilmu pengetahuan memudahkan
kehidupan manusia, yang lainnya tidak ada masalah. Semua kemungkinan dihitung
dan diukur sedemikian rupa agar teknologi terus berkembang.
Melihat fenomena tersebut, para
ilmuwan sosial berpendapat bahwa kebenaran yang absolut dan ilmu pengetahuan
yang bersifat objektif, akan menjadikan ilmu sosial sebagai pengabdi
kemapanan. Hal tersebut akan menyebabkan hilangnya daya kritis. Bagi ilmuwan
sosial, nilai sebuah ilmu pengetahuan tidak bisa diukur secara kuantitas saja,
perlu dipertanyakan pula kualitas pengetahuan itu sendiri. Jika hanya
mengabdikan diri pada ilmu penetahuan, kelompok positivisme dianggap telah menutup
mata terhadap dampak dari ilmu pengetahuan itu. Dampak yang terjadi seperti kemiskinan,
pemanasan global, pencemaran lingkungan dan sebagainya.
Ilmu
sosial memandang nilai sebuah ilmu pengetahuan bukan dari jumlahnya tetapi dari
dampak yang diberikan. Oleh karena itu, tidak jarang kami (ilmu bahasa, budaya,
antropologi, sejarah, dan ilmu sosial lainnya) sering dianggap sebelah mata.
Kami tidak menciptakan sesuatu yang terlihat secara kasat mata, tidak pula
menciptakan teknologi canggih yang mampu mengubah kehidupan manusia secara
drastis. Kami berbicara mengenai sesuatu yang tidak terlihat. Jika suatu saat
nanti teknologi sudah begitu berkuasa sehingga mengakibatkan hilangnya nilai –
nilai budaya, berubahnya tatanan sosial, dan memberikan dampak buruk pada
psikis manusia, barulah mereka mencari pakar – pakar sosial. Berdiskusi untuk
mencari solusi dari perubahan yang telah dibuatnya sendiri.
Zaman
sudah berubah. Bumi tidak lagi sama. Pemikiran manusia pun sudah cukup terbuka
untuk melihat hakikat dari masing – masing ilmu pengetahuan. Tidak ada lagi
yang merasa lebih penting. Permasalahan di bumi ini akan semakin menyeramkan,
jika tidak sama – sama bergandengan tangan untuk membenahinya. Bukankah seharusnya
kita berjalan berdampingan? Kami juga ada untuk menyeimbangkan kehidupan. JJJ
“Tidak ada yang lebih hebat. Baik
ilmu pengetahuan alam ataupun sosial, mereka hanya saling melengkapi satu sama
lain,” –DPA
Bandung, 2 Mei 2016
Amateur Traveler,
DindaAlhumaira
Comments
Post a Comment