Untuk apa?





‘…mencari alasan untuk menjadikan ini sebuah tulisan.’

Mengapa ya?

*masih* mencari – cari alasan agar jari tidak berhenti di sini.

Hm. 

Beberapa orang berhenti melakukan kebaikan hanya karena ia merasa tak temukan alasan untuk terus melanjutkan. Beberapa orang berhenti mengejar yang dulu menjadi ambisinya, sebab ia lupa alasan dulu memulai. Beberapa orang nyaman dalam sebuah keadaan hingga tak temukan satupun alasan untuk bergerak maju. Beberapa orang yang lain berdiam diri, bertanya – tanya pada hati kecilnya adakah alasan untuk bertahan?

Ada yang ingat pada keringat ibu bapaknya demi melihat anaknya sekolah tinggi, kemudian ia kembali melangkahkan kaki. Ada yang mengingat pahitnya direndahkan untuk kembali memecut diri kerja lebih keras lagi. Ada yang mengingat tagihan yang harus dibayar hingga pergi pagi pulang pagi demi rekening terisi. Ada yang menatap wajah anak lekat – lekat agar ia tidak pergi, berusaha keras memperbaiki keadaan.

Beberapa orang memilih tetap bergerak maju melangkah, meski selangkah demi selangkah sebab ia yakin bahwa usaha tidak akan menghianati hasil.  Beberapa orang memilih tetap memberi meski terlihat tidak berarti tapi ia yakin bahwa balasan bagi sebuah kebaikan adalah kebaikan pula. Beberapa orang memilih tidak rakus, bersyukur dengan kecukupan sebab ia yakin bahwa harta itu titipan. Beberapa pasangan memilih tetap bersama menghadapi kekurangan sebab mereka yakin janji yang telah diikrarkan adalah pertanggungjawaban.

Bahwa hidup adalah pilihan memang benar adanya. Jika setiap pilihan diiringi alasan dan dunia dijadikan landasan, maka berapa lama sebuah pilihan itu bertahan? Entah akan terhenti di tengah jalan atau bubar semua yang telah dimulai. Nyatanya, untuk orangtua, untuk pasangan, untuk anak, demi harta, demi jabatan, demi gelar, tak cukup kuat untuk membuat bertahan pada pilihan. Dunia terlalu rapuh jika dijadikan sandaran.

Andai saja hati lebih luas dalam bersabar, aku pasti mengerti, bukan alasan yang selama ini dicari melainkan keyakinan yang seharusnya tertanam dalam diri. Agar langkah tidak mudah terhenti meski akan ada rintangan di depan nanti, agar tetap bertahan dalam kebaikan meski hati menjerit bergelut dengan pahit. Seandainya saja hati lebih kuat dalam iman, aku pasti paham, dunia beserta isinya terlalu sedikit untuk hawa nafsu yang liar, sedang keyakinan akan Allah lebih dari cukup untuk jiwa yang taat. Tak perlu sekuat tenaga alasan dicari, cukup yakini yang dikerjakan hari ini terbalas dikemudian hari, entah di sini atau di akhirat nanti.


Tak perlu lagi alasan untuk apa aku berbagi. Barangkali, tulisan ini dapat menjadi pengingat diri suatu hari nanti.








Jika pecundang mencari –cari alasan demi sebuah pembenaran, maka apa yang dilakukan oleh pemenang? Mungkin ia sedang merajut keyakinan dengan benang – benang luka, kecewa, putus asa, dan pahitnya kegagalan. -DPA








Bandung, 10 April 2019





Dinda Alhumaira

Comments

Popular posts from this blog

DIBALIK PERTANYAAN 'NIKMAT TUHAN MANAKAH YANG KAMU DUSTAKAN?'

Separuh Sempurna

IMPLIKATUR PRINSIP IRONI DALAM 'KAMUS CEWEK'