KONTEMPLASI BAHAGIA



Image Source:
https://teenntimes.com/2018/06/21/are-children-raised-with-injustice/



Mari berbicara sedikit lebih dalam tentang makna bahagia. Tidak sedikit orang menyandingkannya dengan dunia. Saat tak dapati apa yang mereka impikan, sedihnya bukan main. Ketika tak dapatkan seperti yang didapati tetangga, mereka enggan bertegur sapa. Iri hati dan dengki penuhi dada. Saat cita – cita tak sesuai realita, mereka mengurung diri berhari hari. Gagal sudah rasanya hidup ini. Adapula yang berbahagia dengan hal remeh temeh. Ah, cukup dengan makan tiga kali sehari. Ah, asal ada kau setia mendampingi.  Ah, yang penting pas butuh pas ada. Sederhana sekali ya bahagia mereka. Di sisi lain, ada yang sangat bijaksana dalam memandang bahagia. Mereka bersyukur dengan yang ada. Tanpa ada embel – embel membuntutinya. Sebab mereka tahu, mungkin di luar sana ada banyak orang impikan hidup seperti dirinya. Ah, iya juga.


Bagi mereka yang memaknai bahagia dengan dunia. Ia hanya didapat saat hidup dengan berlebihnya materi. Ia hanya hadir saat raih pendidikan tinggi dan bergengsi. Ia hanya hadir saat rumah sudah dua, mobil ada tiga, atau berhasil keliling dunia. Mereka yang memaknai bahagia dengan dunia. Ia adalah tentang decak kagum dari sekitar, gelimang harta, riuh tepuk tangan dan kebanggan pada diri. Padahal bahagia hanya tentang rasa. Bukankah seharusnya ia sederhana?


Bagi mereka yang memaknai bahagia dengan sederhana. Mengerti bahwa bahagia tidak melulu tentang harta dan tahta. Mereka memaknai bahagia dengan sederhana. Duduk melingkar makan bersama keluarga. Bercengkrama, tertawa bersama orang terdekat. Ah, cukuplah dengan anak bertumbuh sehat. Benarkah bahagia sesederhana itu? Nyatanya, bagi mereka yang tak punya keluarga, duduk bersama mahal sekali rasanya. Sekian banyak harta yang dipunya tak mampu bangkitkan orangtua yang telah tiada. Bagi mereka yang tinggal sendiri kehilangan kerabat, bercengkrama hanyalah dalam angan. Sebab sejak kecil hidup sudah sebatang kara tak mengenal saudara. Bagi ibu dengan anak yang sakit, sehat adalah kemewahan. Setiap hari harus membeli oksigen, membayar perawatan, sungguh perih hati melihat anak - anak lain berlarian kesana kemari. Jika memang bahagia adalah sebuah rasa yang sederhana, mengapa padanya melekat banyak syarat?


Bagi mereka yang bijaksana dalam memaknai bahagia. Ia paham betul ini hanya tentang rasa. Seperti rasa lainnya, sedih, kecewa, bangga, pun bahagia. Memahami bahwa rasa yang hadir akan dapat pergi. Mereka yang bijaksana dalam berbahagia. Bila datang bahagia dari yang sederhana mereka syukuri. Bila datang dari materi mereka berbagi. Bila datang dari jabatan dan sekolah tinggi mereka abdikan diri agar keberkahan menaungi. Mereka yang memaknai bahagia dengan bjiaksana. Jika hidup tak menyajikan sedikitpun alasan untuk berbahagia, mereka tidak berkecil hati. Ini hanya perkara rasa. Bahagia bisa datang dari tenangnya hati. Tak perlulah kejar bahagia, tak perlu pula sandingkan dengan dunia, sedang dunia saja fana. Mereka yang bijaksana dalam memaknai bahagia, bertanya – tanya pada yang mengejar bahagia ke ujung dunia ‘Mengapa sebuah rasa menjadi tujuan utama? Sedang ia tak akan tinggal lama.’


Mereka yang bijaksana dalam berbahagia. Ia berbahagia dengan yang ada. Sewajarnya saja. Tidak berlebih dalam tertawa, tidak berlarut dalam air mata. Mereka yang bijaksana dalam memaknai bahagia. Sekali lagi, ini hanya tentang rasa. Mereka memahami bagaimana rasa bekerja. Meski kadang sulit dalam kendali, tidak apa, manusiawi sekali. Mereka yang memaknai bahagia dengan bijaksana. Berjuang dalam pengabdian pada Ilahi sebab mereka mengerti inilah bahagia abadi.


Jadi, dengan apa kita dapat benar – benar bahagia?






"Kini, aku tahu siapa yang paling bijaksana dalam memandang bahagia. Merekalah rakyat Palestina. Sebab hari - harinya tak penuh dengan dunia. Hanya kejar bahagia abadi di surga." -DPA









Jakarta, 14 September 2019




Dinda Alhumaira 




Comments

Popular posts from this blog

DIBALIK PERTANYAAN 'NIKMAT TUHAN MANAKAH YANG KAMU DUSTAKAN?'

Separuh Sempurna

IMPLIKATUR PRINSIP IRONI DALAM 'KAMUS CEWEK'