ME.NI.KAH : SEBUAH IBADAH TANPA JEDA.

 

 SEBUAH IBADAH TANPA JEDA.

KARENANYA KITA PERLU BANYAK SEKALI AMUNISI.

BELAJARNYA SETIAP HARI.

KALAU JATUH YA BANGUN LAGI.

BEGITU TERUS, HINGGA MAUT MENGAKHIRI IBADAH PANJANG INI.

 

 

“Sebab menikah adalah ibadah yang paling panjang,” ucap seorang ustadz di sebuah forum sekolah pra-nikah. “Maka dari itu menikah disebut menggenapkan separuh agama,” lanjutnya.

Yang mendengar menganggukan kepala sambil sesekali mencatat. Muda-mudi dengan gairah yang membara ini terlihat begitu siap untuk mengaplikasikan setiap teori dalam kehidupan menikah nanti. 

 

 

Saat ijab qabul bergema, maka peran suami dan istri akan melekat selamanya, harapannya begitu dong. Maka bersiap, 24/7 ke depan bukanlah tentang kamu saja. Adakalanya merasa sangat penuh sekali kepala ini. Melompat dari tugas satu ke tugas lainnya tanpa jeda. Ternyata perasaan lelah itu biasa, yang menjadi ‘luar biasa’ adalah ketika lelah diluapkan dengan berbagai macam bentuk emosi lainnya yang kemudian menimbulkan banyak masalah baru, padahal ternyata cuma perlu jeda. Tidak jarang lelah ini kemudian dijadikan sebuah alasan utama untuk menyerah. Aku sudah lelah, begitu katanya. Tapi memang begitulah adanya. Dengan porsi masalah dan ujian pernikahan yang berbeda, akhirnya kita tidak pernah bisa memaksakan dan tidak patut pula menghakimi perasaan lelah. Sebab rasa lelah itu perlu difasilitasi agar tidak menjadi bom waktu di kemudian hari. Gapapa, kalau lelah ya gapapa, tidak berarti lemah, pun kalau memang merasa lemah ya gapapa, namanya juga manusia.

 

Selalu ada momen dimana aku ingin menekan tombol pause dalam kehidupan rumah tangga. Tapi tidak bisa, tentu saja. Waktu berjalan, dan yang lain terus memanggil. Kita memang tidak punya jeda dalam pernikahan. Peran ibu dan istri secara bersamaan ini melelahkan. Bukan cuma melelahkan, tetapi juga menguras tenaga. Tidak, tidak… bukan hanya melelahkan dan menguras tenaga, tetapi juga bisa membuat gila. Ya. Menjadi ibu ini ternyata tidak hanya meregang nyawa di awal, tetapi juga mempertaruhkan kesehatan mental disepanjang hidupnya.

 

Di banyak kejadian akhirnya sadar bahwa kekuatan ini bukan berasal dari diri sendiri saja. Pernikahan bukan tentang diri sendiri saja. Terlalu banyak yang terlibat dalam pernikahan, suami yang suportif, lingkungan yang tidak menghakimi, doa orang tua, dan kekuatan paling besar berasal dari Ia yang Maha Kuasa. Tentang diri yang masih bertahan dan sehat jiwa raga sampai hari ini adalah sebab Allah mampukan untuk bisa bangun lagi meski habis jatuh berkali - kali. Pernikahan ini ibadah, karenanya bukan hanya romantisme suami-istri saja yang harus terus menerus dijaga, dipoles dan diperbaiki, tetapi juga hubungan kita dengan yang Maha Cinta harus selalu dirawat. 

 

Inilah ibadah terpanjang. Menikah. Kini aku mengerti betul mengapa ini disebut ibadah terpanjang. Sebab durasi ibadahnya sepanjang hayat. Tidak jarang juga disebut ibadah yang cukup berat, sebab banyak sekali yang harus dikorbankan demi melanggengkan pernikahan. Karir, waktu, pikiran, materi, tenaga, kesehatan jiwa raga, cita-cita yang tertunda dan banyak lagi pengorbanan lainnya dalam pernikahan. Maka tak heran orang dulu sering sekali bilang menikah adalah tentang pengorbanan. Menikah adalah tentang mengesampingkan keinginan diri demi tercapainya keinginan bersama. Maka bersyukur saat keinginan bersama itu beririsan dengan keinginan diri atau panjatkan syukur pula saat pasangan mau berkompromi, menjadikan keinginan diri sebagai keinginan bersama. Kalau ternyata keinginan diri tidak bisa terwujud, yasudah, kita hanya perlu yakin dengan cara Allah bekerja. Dunia ini tidak melulu harus sejalan dengan keinginan, kan? Kamu akan semakin mengerti kalimat itu nanti. Satu hal yang harus dijadikan sumber kekuatan saat kita melepaskan yang selama ini jadi impian, yakini bahwa apa - apa yang sudah dikeluarkan, dikorbankan, tidak pernah luput dari perhitunganNya yang sangat teliti. Sering sekali kita melupakan narasi ini. Hanya karena belum terasa balasanNya di dunia, kita memandang sebelah mata pada janjiNya. Sehingga setiap yang kita lakukan terlihat sia - sia, dan berkorban menjadi hal yang paling menyiksa.

 

Tahun berganti dan aku semakin memahami. Tentang sabar yang seluas samudera itu nampak jelas bagaimana rupanya. Tentang ikhlas tanpa batas itu semakin terpampang nyata di depan mata. Meski praktiknya masih tertatih - tatih, setidaknya hanya di dalam pernikahan aku dipaksa belajar untuk bisa meluaskan sabar dan memupuk ikhlas setiap harinya, setiap jamnya, setiap menitnya dan setiap detiknya. Panjang sekali ibadah ini, apalagi bagi mereka yang meniatkan sehidup sesurga, maka pernikahan dan ibadah ini tak memiliki ujung. Belajar dan terus belajar adalah satu - satunya pilihan. Perbaikan demi perbaikan adalah kewajiban. Berusaha dan terus berusaha hingga pernikahan sakinah, mawaddah dan rahmah ini layak kita dapatkan.

 

Mengutip para konselor pernikahan, kalau diibaratkan shalat, menikah itu takbirnya ijab qabul, dan salamnya adalah maut yang memisahkan. Pastikan kita menyelesaikan ibadah ini dengan baik. :) 

Comments

Popular posts from this blog

DIBALIK PERTANYAAN 'NIKMAT TUHAN MANAKAH YANG KAMU DUSTAKAN?'

Separuh Sempurna

IMPLIKATUR PRINSIP IRONI DALAM 'KAMUS CEWEK'