MENULIS: DARI PENUH EMOSI HINGGA PENDEWASAAN HATI
Layaknya fotografi, menulis diari adalah cara lain untuk rekam memori. -DPA-
Suatu hari pernah begitu emosi hingga tak kuasa berkata –
kata, hanya diwakili oleh air mata. Akhirnya tersisa sesak di dada, atau kadang
menjadi luka untuk waktu yang lama. Pernah pula begitu emosi, hingga terlontar
kata –kata tak baik yang berujung menyakiti lawan bicara. Lepas. Lega. Puas
rasanya. Tapi menggoreskan luka pada sesama. Akhirnya menyalahkan diri sebab
hubungan menjadi canggung dan sulit menjadi biasa kembali. Ah, mengapa aku tak
bisa menahan emosi? Memang benar adanya, lidah tidak bertulang. Tapi kata yang terucap
mampu menusuk bak pedang. Pernah
begitu putus asa tak ada teman berbagi cerita, hingga akhirnya tercetus ide
menulis sebagai jadwal harian. Saat kata tak mampu terucap, malu rasanya saat lidah
ingin berkeluh, atau ingin mencaci tapi terlalu takut melukai maka menulis
menjadi saluran pembuangan sejuta rasa yang aku alami.
Jauh sebelum mengenal menulis sebagai terapi, aku mulai membiasakan diri menulis ketika merasakan emosi yang sulit kukendali. Sedih, marah, dan bahagia adalah rasa yang mendominasi buku diari. Maka ketika ku baca kembali, di sana aku lihat perjalanan emosi. Lima tahun yang lalu, aku sibuk pergi bersama kawan hingga tak ada waktu untuk sekedar memberdayakan diri. Hari ini aku dapati pelajaran bahwa bermain - main selagi senggang adalah kesia – siaan. Lima tahun yang lalu, langit pernah runtuh di atas kepala. Kecewa mendalam sebab menaruh harapan pada manusia. Hari ini, aku baik – baik saja, dan telah ku dapati pelajaran berharga. Tempat terbaik untuk simpan harapan adalah padaNya. Lima tahun yang lalu, aku pernah meragukan pernikahan. Akankah selesai segala persoalan dengan bertemunya lelaki idaman? Hari ini aku paham bahwa persoalan hidup tidak lantas selesai dengan pernikahan, tapi setidaknya saat badai datang kita bisa bergenggam tangan saling menguatkan. Lima tahun lalu aku pernah marah pada orangtua hanya karena mereka melarang ini dan itu. Hari ini, aku mengerti. Mereka terlalu sayang. Mungkin akupun akan begitu pada anakku nanti.
Kudapati banyak emosi tertulis di sana. Marah, senang, sedih,
kecewa dan banyak lagi. Saat membaca tulisan sedih atau kecewa, ah iya, memang
benar kata pepatah, bahwa hanya waktu yang bisa sembuhkan luka. Kamu hanya
perlu bersantai sejenak tak perlu terlalu dipikirkan apalagi berlarut – larut
merana. Saat membaca tulisan bahagia hingga rasanya saat itu hidupku sempurna.
Ah iya, ternyata bahagia pun hanya sementara. Tak perlu terlalu euforia. Sebab
masalah – masalah berikutnya akan datang bergantian. Ah… bukan masalah hidup yang
menjadi lebih mudah ternyata. Tetapi, hatiku yang telah menjadi lebih dewasa.
Ia mengerti bagaimana harus merespon kecewa. Ia mengerti bagaimana menentukan
sikap saat bertemu sedih. Pun menjadi lebih bijaksana saat berhadapan dengan
bahagia.
Kemudian kututup buku diari. Lalu tersenyum geli. Dulu masalah
yang kuanggap pelik, menjadi remeh sekali hari ini. Ya, ternyata seiring
bertambah usia hatiku pun ikut beranjak dewasa.
#nulisyuk
#nulisyukbatch37
#belajarmenulis
Jakarta, 4 Oktober 2019
DindaAlhumaira
Comments
Post a Comment